Komisi Pemilihan
Umum Daerah (KPUD) DKI Jakarta dinilai belum transparan dalam menjelaskan
tingginya anggaran pemilukada pada periode kali ini. Kekhawatiran yang lebih
besar justru bukan pada distribusi dana yang ada di KPUD, namun yang berada
pada wilayah pemerintahan yang ditangani oleh suku dinas lembaga bersangkutan,
terkait hal-hal seperti sosialisasi, pembentukan posko-posko pemilu di
tiap-tiap kelurahan. Hal ini akan memicu anggaran dari pilkada yang sudah
terhitung dana tetapnya, namun lebih besar dari itu, dikarenakan
penyelenggaraannya tidak berada dalam satu pintu.
Biaya pilkada
yang relatif tinggi memicu terjadinya tindakan korupsi yang melibatkan oknum
gubernur, bupati dan wali kota di Indonesia. Praktik korupsi yang melibatkan
kepala daerah seperti ‘wabah’, karena melibatkan 158 dari 524 pejabat di
Indonesia. Selain itu, implikasi pilkada langsung juga akan berpengaruh kepada
retribusi pembangunan dan pendapatan. Pembiayaan pilkada menimbulkan banyak
implikasi yang dapat mempengaruhi kualitas pilkada. Namun, apabila pendanaannya
berasal dari APBN, setidaknya dapat mengurangi implikasi tersebut. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa pilkada langsung sebenarnya dapat dilakukan
dengan biaya murah sepanjang pemerintah mengalokasikan anggaran pilkada pada
APBN dan melakukan penghematan serta manajemen anggaran pilkada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar