Minggu, 30 Oktober 2011

Kondisi Hukum di Indonesia

Ketika bicara hukum di Indonesia, barangkali masyarakat sudah bosan dan lelah menyaksikan paradoks-paradoks yang terjadi dalam kehidupan hukum di negeri ini. Sudah banyak issue-issue miring yang dialamatkan kepada aparat penegak hukum, baik itu polisi, jaksa maupun hakim. Sudah banyak tuduhan-tuduhan yang telah disuarakan oleh berbagai elemen masyarakat, tentang banyaknya para koruptor penjarah uang rakyat milyaran dan bahkan triyulnan rupiah dibebaskan oleh pengadilan. Dan kalaupun dihukum hanya sebanding dengan hukuman pencuri ayam. Dengan mata telanjang dapat disaksikan bahwa orang miskin akan sangat kesulitan mencari keadilan diruang pengadilan, sedangkan orang berduit akan begitu mudah mendapatkan keadilan. Bukan rahasia lagi, bahwa dalam proses peradilan perkara pidana bila ingin mendapat keringanan atau bahkan bebas dari jeratan hukum harus menyediakan uang, begitu juga para pihak dalam perkara perdata, bila ingin memenangkan perkara maka harus menyediakan sejumlah uang. Dengan kata lain bahwa putusan pengadilan dapat dibeli dengan uang, karena yang menjadi parameter untuk keringanan hukuman dalam perkara pidana dan menang kalahnya dalam perkara perdata lebih kepada pertimbangan berapa jumlah uang untuk itu daripada pertimbangan hukum yang bersandar pada keadilan dan kebenaran.

Dalam situasi yang serba extra ordinary dimana bangsa dan negara kita ini sulit untuk keluar dari tekanan krisis di segala bidang kehidupan tidak tertutup kemungkinan bangsa Indonesia akan tambah terperosok ke jurang nestapa yang semakin dalam dan menyeramkan, maka situasi mencekam seperti ini tidak ayal hukum menjadi institusi yang banyak menuai kritik karena dianggap tidak becus untuk memberikan jawaban yang prospektif. Pasca tumbangnya pemerintahan otoriter tahun 1998, hamper setiap saat dibumi pertiwi ini lahir peraturan perundang-undangan untuk mengatur dan menjawab problematika kehidupan di Negara ini, sehingga keberadaan bangka kita ini dalam kondisi hiperregulated society. Namun, dengan segudang peraturan perundang-undangan, baik menyangkut bidang kelembagaan maupun sisi kegidupan manusia Indonesia, keteraturan (order) tidak kunjung datang. Malahan hukum kita tampak kewelahan, yang akibatnya dengan seabrek peraturan perundang-undangan itu dalam ranah penegakan hukum justru malah menerbitkan persoalan-persoalan baru ketimbang menuntaskannya. Hal ini menurut Satjipto Rahardjo, komunitas hukum dianggap sebagai komunitas yang sangat lamban dalam menangkap momentum.
Sejak tumbangnya pemerintahan otoriter 1998 yang selanjutnya disebut sebagai era reformasi, sebenarnya merupakan momentum paling penting dan strategis dari segi kehidupan social dan hukum, namun kondisi ini tidak mampu menggerakkan untuk mengambil manfaat dalam ranah perbaikan. Institusi yang dijadikan tumpuan pembebasan dan pencerahan, justru menjadi sarang troble maker bangsa. Dampaknya kehidupan hukum menjadi tidak terarah dan terpuruk. Dalam situasi keterpurukan hukum seperti ini, maka apapun uapya pembenahan dan perbaikan dibidang ekonomi dan bidang-bidang lainnya niscaya merupakan suatu yang musykil dilakukan (mission impossible) . Hal ini apabila dicermati , minimal terdapat dua faktor utama. Pertama, perilaku penegak hukum (professional jurist) yang koruptif dan yang kedua, pola pikir para penegak hukum Indonesia sebagian besar masih terkungkung dalam pikiran legalistic-positivistik, meskipun system kelembagaan hukum telah ditabuh ke arah perubahan-perubahan namun paradigma para penegak hukum masih berpola lama (orde baru).
Bahwa dalam harian Kompas tanggal 31 Mei tahun 2002, halaman 27 ditulis, panggung peradilan Indonesia…., dikepung oleh pelbagai hal yang sangat rawan dengan urusan KKN…, dan hedoisme…, uang yang bersileweran-pun bukan alang kepalang jumlahnya. Dalam harian yang sama pada halaman 4 seorang Denny Indrayana mengatakan “sebenarnya persoalan perilaku jurist itu tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Namun yang berlangsung di Indonesia sungguh sudah keterlaluan.
Selanjutnya ketika dikaji dari sisi penegakan hukum yang legal-positivistik, menurut Anis Ibrahim, rasanya kita sudah lebih dari cukup memiliki peraturan hukum yang dapat digunakan sebagai garansi kepastian dan keadilan bagi mereka yang sedang berurusan dengan hukum, Namun, sungguh sangat sulit mendapatkan data yang menggembirakan tentang keadilan yang muncul dari hukum. Misalnya, Indonesia telah menyatakan korupsi merupakan extra ordinary, dan karenanya dinyatakan Negara Indonesia berada dalam keadaan darurat korupsi. Hal ini, melahirkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU nomor 20/2001 yang mengubah UU Nomor 31/1999). Dan karena Kejaksaan dan Kepolisian dianggap tidak mampu menangani korupsi kelas kakap, maka lahirlah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki kewenangan luar biasa untuk melakukan pemberantasan korupsi. Namun pemberantasan korupsi yang dilakukan hanya sebatas popularitas, asal sikat dan sering salah sasaran. Hal ini terbutki, koruptor kelas kakap yang menjarah BLBI trilyunan rupiah nyaris belum tersentuh. Ironisnya menurut Anis Ibrahim, seandainya ada yang dibawa ke pengadilan terdapat dua kemungkinan putusan, jika tidak dibebaskan dengan dalih kekurangan alat bukti, bisa jadi vonisnya tidak jauh dari putusan penjahat sekelas preman jalanan.

Kondisi hukum di Indonesia sepertinya sudah dapat diteropong oleh orang banyak , terutama warga negara Indonesia sendiri. Kasus - kasus yang tengah terjadi di akhir-akhir ini menjadi salah satu nilai ukur bagaimana hukum kita berlaku.
Berbagai masalah politik yang timbul kerap kali membuat masyarakat kita menjadi geram, semua proses dalam hukum kian memburuk. Menurut Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, dikuti oleh Republika Online ,Jumat, 11 Juni 2010 03:43 WIB ,menilai berkembangnya kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah buah dari carut marutnya hukum di Indonesia yang akut. Hal ini membuktikan memburuknya hukum yang ada di Indonesia saat ini.
''Perkembangan hukum saat ini carut marut dan akut. Ini dipengaruhi masa lalu yang menyandera masa kini sehingga sulit diselesaikan,'' ujar Mahfud saat membuka 'Uji Shahih Buku Ajar Hukum Acara MK', di Jakarta, Kamis (10/6).
Saya pribadi berpendapat, kita tidak perlu banyak membahas permasalahan hukum yang sedang terjadi, namun kita lebih perlu memfokuskan diri dimana kita membahas akan dampak juga solusi dari semua permasalahan ini. salah satunya yang perlu kita soroti adalah banyak warga negara Indonesia yang tidak mengetahui kepastian proses hukum atas hal-hal apa yang salah dan benar serta hukuman yang pasti atas apa yang telah diperbuat. Hal ini sungguh mengiris karena mereka hanya mengumpulkan berita, beragumentasi tanpa mengetahui apa langkah yang baik berkenaan dari permasalahan yang berkaitan dengan hukum tersebut. Untuk itu, perlu pembinaan lebih oleh seluruh warga negara Indonesia, dari keluarga, lingkungan,media massa,pemerintahan, serta lembaga hukum yang terkait agar saling membantu mewujudkan pengetahuan lebih tentang hukum - hukum yang berlaku di Indonesia,serta penanaman sikap yang baik saat menghadapai persoalan baik di dalam diri mereka sendiri juga diluar apalagi menyangkut hukum yang berkaitan dengan politik diIndonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
;