Dalam situasi yang serba extra ordinary dimana bangsa dan negara kita ini sulit untuk keluar dari tekanan krisis di segala bidang kehidupan tidak tertutup kemungkinan bangsa Indonesia akan tambah terperosok ke jurang nestapa yang semakin dalam dan menyeramkan, maka situasi mencekam seperti ini tidak ayal hukum menjadi institusi yang banyak menuai kritik karena dianggap tidak becus untuk memberikan jawaban yang prospektif. Pasca tumbangnya pemerintahan otoriter tahun 1998, hamper setiap saat dibumi pertiwi ini lahir peraturan perundang-undangan untuk mengatur dan menjawab problematika kehidupan di Negara ini, sehingga keberadaan bangka kita ini dalam kondisi hiperregulated society. Namun, dengan segudang peraturan perundang-undangan, baik menyangkut bidang kelembagaan maupun sisi kegidupan manusia Indonesia, keteraturan (order) tidak kunjung datang. Malahan hukum kita tampak kewelahan, yang akibatnya dengan seabrek peraturan perundang-undangan itu dalam ranah penegakan hukum justru malah menerbitkan persoalan-persoalan baru ketimbang menuntaskannya. Hal ini menurut Satjipto Rahardjo, komunitas hukum dianggap sebagai komunitas yang sangat lamban dalam menangkap momentum.
Sejak tumbangnya pemerintahan otoriter 1998 yang selanjutnya disebut sebagai era reformasi, sebenarnya merupakan momentum paling penting dan strategis dari segi kehidupan social dan hukum, namun kondisi ini tidak mampu menggerakkan untuk mengambil manfaat dalam ranah perbaikan. Institusi yang dijadikan tumpuan pembebasan dan pencerahan, justru menjadi sarang troble maker bangsa. Dampaknya kehidupan hukum menjadi tidak terarah dan terpuruk. Dalam situasi keterpurukan hukum seperti ini, maka apapun uapya pembenahan dan perbaikan dibidang ekonomi dan bidang-bidang lainnya niscaya merupakan suatu yang musykil dilakukan (mission impossible) . Hal ini apabila dicermati , minimal terdapat dua faktor utama. Pertama, perilaku penegak hukum (professional jurist) yang koruptif dan yang kedua, pola pikir para penegak hukum Indonesia sebagian besar masih terkungkung dalam pikiran legalistic-positivistik, meskipun system kelembagaan hukum telah ditabuh ke arah perubahan-perubahan namun paradigma para penegak hukum masih berpola lama (orde baru).
Bahwa dalam harian Kompas tanggal 31 Mei tahun 2002, halaman 27 ditulis, panggung peradilan Indonesia…., dikepung oleh pelbagai hal yang sangat rawan dengan urusan KKN…, dan hedoisme…, uang yang bersileweran-pun bukan alang kepalang jumlahnya. Dalam harian yang sama pada halaman 4 seorang Denny Indrayana mengatakan “sebenarnya persoalan perilaku jurist itu tidak hanya terjadi di Indonesia saja. Namun yang berlangsung di Indonesia sungguh sudah keterlaluan.
Selanjutnya ketika dikaji dari sisi penegakan hukum yang legal-positivistik, menurut Anis Ibrahim, rasanya kita sudah lebih dari cukup memiliki peraturan hukum yang dapat digunakan sebagai garansi kepastian dan keadilan bagi mereka yang sedang berurusan dengan hukum, Namun, sungguh sangat sulit mendapatkan data yang menggembirakan tentang keadilan yang muncul dari hukum. Misalnya, Indonesia telah menyatakan korupsi merupakan extra ordinary, dan karenanya dinyatakan Negara Indonesia berada dalam keadaan darurat korupsi. Hal ini, melahirkan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU nomor 20/2001 yang mengubah UU Nomor 31/1999). Dan karena Kejaksaan dan Kepolisian dianggap tidak mampu menangani korupsi kelas kakap, maka lahirlah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memiliki kewenangan luar biasa untuk melakukan pemberantasan korupsi. Namun pemberantasan korupsi yang dilakukan hanya sebatas popularitas, asal sikat dan sering salah sasaran. Hal ini terbutki, koruptor kelas kakap yang menjarah BLBI trilyunan rupiah nyaris belum tersentuh. Ironisnya menurut Anis Ibrahim, seandainya ada yang dibawa ke pengadilan terdapat dua kemungkinan putusan, jika tidak dibebaskan dengan dalih kekurangan alat bukti, bisa jadi vonisnya tidak jauh dari putusan penjahat sekelas preman jalanan.
Kondisi hukum di Indonesia sepertinya sudah dapat diteropong oleh orang banyak , terutama warga negara Indonesia sendiri. Kasus - kasus yang tengah terjadi di akhir-akhir ini menjadi salah satu nilai ukur bagaimana hukum kita berlaku.
Berbagai masalah politik yang timbul
kerap kali membuat masyarakat kita menjadi geram, semua proses dalam
hukum kian memburuk. Menurut Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD,
dikuti oleh Republika Online ,Jumat, 11 Juni 2010 03:43 WIB ,menilai
berkembangnya kasus Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah buah dari
carut marutnya hukum di Indonesia yang akut. Hal ini membuktikan
memburuknya hukum yang ada di Indonesia saat ini.
''Perkembangan hukum
saat ini carut marut dan akut. Ini dipengaruhi masa lalu yang menyandera
masa kini sehingga sulit diselesaikan,'' ujar Mahfud saat membuka 'Uji
Shahih Buku Ajar Hukum Acara MK', di Jakarta, Kamis (10/6).
Saya pribadi
berpendapat, kita tidak perlu banyak membahas permasalahan hukum yang
sedang terjadi, namun kita lebih perlu memfokuskan diri dimana kita
membahas akan dampak juga solusi dari semua permasalahan ini. salah
satunya yang perlu kita soroti adalah banyak warga negara Indonesia yang
tidak mengetahui kepastian proses hukum atas hal-hal apa yang salah dan
benar serta hukuman yang pasti atas apa yang telah diperbuat. Hal ini
sungguh mengiris karena mereka hanya mengumpulkan berita, beragumentasi
tanpa mengetahui apa langkah yang baik berkenaan dari permasalahan yang
berkaitan dengan hukum tersebut. Untuk itu, perlu pembinaan lebih oleh
seluruh warga negara Indonesia, dari keluarga, lingkungan,media
massa,pemerintahan, serta lembaga hukum yang terkait agar saling
membantu mewujudkan pengetahuan lebih tentang hukum - hukum yang berlaku
di Indonesia,serta penanaman sikap yang baik saat menghadapai persoalan
baik di dalam diri mereka sendiri juga diluar apalagi menyangkut hukum
yang berkaitan dengan politik diIndonesia.